Daily and Fantasy

A story from a day-dreamer and a night-thinker

Jumat, 23 Oktober 2015

Cara untuk Mati Muda

Malam itu, batang otak kembali berakar. Menyinggung titik-titik beban pikiran yang menjadi keluhan. Segelas kopi menunggu kembali digenggam, agar ditelan segala isinya, dan lebih cepat pula bebannya terangkat. Ah, andai hidup bisa begitu sederhana seperti halnya gelas tersebut. Sepahit apapun tiap tetes tertuang, pada akhirnya akan ada yang menghabiskan. Beda dengan beban pikiran yang walaupun masih kurang pahit, tiada orang lain berniat menengguknya.

Sisa dua jam sebelum kelas dimulai, namun Aku masih terdiam di sebuah kedai kopi yang ramai, mencari letak kesunyian dalam kicauan sosialita. Ya, itulah kebiasaanku; kesepian dalam keramaian. Semakin ramai keadaan akan semakin hilang hasrat untuk lepas dari kehidupan, hal tersebut akan membuatku terus terjaga, tiada niat untuk menutup mata. Sementara, tidak ada yang dapat kusapa, karena sesungguhnya Aku datang seorang diri.

Memang, terkadang siapa saja akan Aku sapa. Aku bukan termasuk orang yang apatis, meskipun sedikit pemendam, Aku bukan orang yang tertutup. Aku senang terbuka atas kabar gembira, walaupun sering juga tertutup akan kabar buruk. Menurutku, kabar buruk di hidup setiap orang sudah ditentukan untuk menjadi lebih banyak daripada yang baik. Apa gunanya menambah pahit orang lain?

Namun, seringkali Aku tidak menyapa karena kewajiban yang ada. Sekarang, kewajiban itu hadir dalam sebuah catatan-catatan yang harus dibaca untuk menghadapi dua jam ke depan, ujian pertengahan untuk mata kuliah tersulit di semester ini. Aku berpacu dengan waktu untuk mengerti arti setiap kata yang berbaris rapih pada layar laptop dan buku catatan.

Bukan berarti Aku menjadi terburu-buru karena terbiasa tidak belajar. Aku selalu belajar! Hanya saja, mungkin kurang cukup. Jangan salahkan Aku, salahkan saja satu hari yang hanya memiliki 24 jam.


Pagi-pagi di hari sebelumnya, aku menyelesaikan salah satu video, pekerjaanku yang tak akan pernah jenuh kugeluti hingga dimakan usia. Meskipun hal itu di luar konteks perkuliahan, bukankah itu disebut pembelajaran? Seusai menyempurnakan video tersebut, aku pergi menuju perkantoran di wilayah M. Selain menjadi mahasiswa, Aku mencoba untuk mulai bekerja sebagai pegawai lepas. Tentu saja pada awalnya Aku dilema dalam mengemban rutinitas ganda ini. Tetapi, untuk meringankan diri sendiri, yang pada akhirnya akan meringankan orangtua, kucoba saja untuk menjalaninya.

Di kantor tersebut, pikiranku kembali bercabang. Sebuah tugas perkuliahan mengingatkanku untuk segera dituntaskan. Akhirnya aku mencuri kesempatan mengerjakan tugas tersebut. Satu jam sebelum tengah malam, Aku berangkat pulang menuju kampus, tempat aku menitipkan kendaraanku agar lebih hemat pengeluaranku berpergian.

Sesampainya di kampus, kutemui beberapa teman tengah bermuka masam, ternyata mereka tengah dalam kesulitan atas tugasnya. Setelah kutelusuri tugas mereka, ternyata tugas tersebut kembali pada kemampuanku, membuat sebuah video. Akhirnya, karena menjadi terpelajar yang dapat mengajarkan adalah salah satu dari cita-citaku, Aku bantu mereka menyelesaikan tugas tersebut. Hingga akhirnya tiba waktu ini, jam 5 pagi. 

Sungguh, banyak hal di depan yang masih mengganggu pikiranku. Membuat video untuk salah seorang teman lainnya, merencanakan pembuatan karya untuk perlombaan, menyelesaikan tugas lainnya, membantu teman lainnya lagi. Ah, 24 jam sungguh terasa kurang untuk memejamkan mata. Selain itu, masih ada kegiatan organisasi kampus yang juga menjadi kewajibanku, kewajiban yang menjadi prioritas saat ini. Aku tidak pernah menyalahkan kegiatan-kegiatan tersebut, mereka akan menolongku kelak sebagai seseorang yang lebih baik. Namun, dengan rutinitas, kebiasaan minum kopi dan tidak tidur, serta batang rokok yang silih berganti kuhisap seperti ini, rasanya seperti akan mati muda.

Hal itu terbesit karena melihat kondisi fisik yang terus dipaksakan serta segala kebiasaan-kebiasaan kurang sehat seperti sekarang. Banyak sekali kegiatan lainnya yang tidak kusebutkan, yang meskipun sederhana akan tetap memakan waktu dari 24 jam yang ada. Perlahan, pikiran dan tubuh mulai terasa lelah. Bidang yang kugeluti selalu mengenai ide, karya, dan solusi, hal-hal yang memaksa otak untuk terus mencari cela. Menurutku itu jauh lebih melelahkan, lebih membuka kemungkinan untuk mati muda!

Akal sehatku tetap mencoba menyadari apa esensi semua ini terjadi. Hingga Aku yakini kembali; setiap kehidupan menemui kesulitan. Mungkin, sekarang Aku merasa sangat sulit dalam belajar, bekerja, berorganisasi, dan sebagainya. Namun, kucoba renungkan bahwa di luar sana orang-orang menemu kesulitan, bukan dalam belajar tetapi untuk belajar, bukan dalam bekerja tetapi untuk bekerja, bukan dalam berorganisasi tetapi untuk berorganisasi, untuk dapat bekerja sama dengan orang lain. Sudah sepatutnya Aku bersyukur, ini adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan. Kesulitan hanyalah proses, dan Aku mendapatkan kesulitan dengan bentuk yang baik.



Sejenak, Aku menyesal atas segala pikiran bodoh dan keluhan yang telah tercetus.



Mati muda ternyata memiliki makna yang mengecoh, bukan berarti berusaha hingga titik darah penghabisan atau membanting tulang untuk mengancam diri sendiri. Mati muda tidak akan menjerat nafas agar terputus segala kesempatan yang akan hadir. Justru, mati muda adalah membuang segala kesempatan di masa muda untuk berjuang. Kehidupan di masa muda "mati", artinya masa itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya. Begitu sadar, habis peluang yang dulu pernah ada, terlambat sudah untuk merakit kembali istana di hari tua. Mati muda berarti menjadikan masa muda sia-sia.

Kembali kutenggak kopi pada gelas di atas meja hingga habis. Seketika, Aku sadar akan satu lagi hal penting mengenai beban di masa muda; jika pahit kopi di gelas sudah habis, gelas tersebut hanya akan berperan menjadi perkakas kotor yang tidak berguna.

Sesungguhnya, ada baiknya melihat segala tanggung jawab sebagai alasan mengapa kita menjadi berarti.




Minggu, 15 Mei 2011

DIBALIK SEBUAH PEROSOTAN

baca ya :D ga gue bikin baku-baku banget kok bahasanya haha, sorry kalo jelek, enjoy (Y) semoga bisa jadi pelajaran, cerita ini gue buat di note fb gue.

DIBALIK SEBUAH PEROSOTAN

waktu itu, aku sedang duduk di mcd sebuah mall bernama graha cijantung, sendiri menunggu waktu, sebenarnya waktu tidak ditunggu, waktulah yang menunggu. karna suatu saat akan datang waktu baginya untuk pergi.



dari kejauhan, anak-anak kecil yang sedang merayakan ulang tahun seseorang itu menyanyi-nyanyi bersama, berkumpul di suatu area yang dijadikan tempat perayaan, mereka bisa senang tertawa hanya karna itu semua, nyanyian, hadiah, ya, mereka anak kecil.



aku hanya senyum-senyum, tingkah anak kecil selalu lucu, aku duduk di pojok, dekat kaca yang terlatak di dinding ruangan itu, aku bisa melihat orang2 berlalu lalang, itu lah kegemaranku.



tiba-tiba terlihat anak2 itu, mereka berlari ke dekatku, tanpa kusadari disebelah yang berjarak sekitar 3 meter dari tempatku duduk, terlihatlah sebuah perosotan. anak-anak itu sampai di tempat perosotan itu



lagi-lagi tingkah mereka membuatku tersenyum, mereka berteriak kegirangan, berebutan untuk bermain di perosotan itu, seorang anak meluncur, ia senang sekali, ia menaiki lagi tangga perosotan itu dengan cepat, lalu ia turun lagi kebawah dengan perosotan itu, begitupun yang lain, hanya dengan meluncur dari ketinggian yg kira-kira 2 meter itu mereka bisa menjadi gila, seolah perosotan itu menjadi candu.



"anak kecil memang konyol ya, ada-ada saja sampai segitunya hanya karna sebuah perosotan yg pendek"



disini lah saat dimana tiba-tiba perosotan itu seakan semakin memanggil namaku...
ku tengok masa lalu ku sambil kuterawang perosotan itu, kubayangkan diriku yang meluncurinya, seketika muncul bayangan sang ibu, yang menemaniku berluncur di perosotan itu.


tiba-tiba timbul pertanyaan "bukankah aku pernah menjadi anak-anak itu dulu? dan akupun juga tergila-gila dengan perosotan itu"





aku mengatakan itu hal yang "konyol" sebelumnya, jika kita berpikir, mungkin sama, tapi apa kita sadar?



dulu aku senang sekali setiap melihat ada perosotan, sama seperti anak-anak itu, sebuah perosotan itu seakan penghibur yang paling sempurna, aku bisa tertawa dan puas hanya dengan menuruninya



sekarang, aku baru saja mengatakan itu hal konyol



dulu aku bisa begitu senang karenanya, tetapi sekarang aku tinggalkan dia dan berkata seperti itu.



disini aku menyadari, "betapa mudah sesuatu yang dulu pernah membuat kita tertawa dan tersenyum dilupakan"...



betapa hinanya saat aku menyadari hal itu, terima kasih pun tak pernah ku ucapkan, tak pernah, perosotan itu menghiburku dulu, amat banyak, sekarang aku melupakannya, sepertinya ini hampir menjadi sifat semua manusia, "tida tahu terima kasih"..



aku merenung, aku juga pernah berusaha membuat seorang wanita tertawa, berusaha membuat ia tersenyum, akhirnya ia tersenyum, begitu pula aku. tapi walaupun itu sudah kulakukan, semudah itu aku ditinggalkan, bahkan dilupakan.



perosotan itu sudah aku tinggalkan, lupakan, bahkan aku mengatakan "konyol" untuknya



aku merasakan sakit saat wanita itu pergi tanpa tau aku yang sudah pernah membuatnya tersenyum.



sesakit apakah perosotan itu yang sudah aku, dan mungkin orang-orang lain lupakan.



mungkin orang memang menjadi dewasa, sudah tak pantas ada di perosotan itu, tapi pantaskah mengatakan hal seperti "konyol" atau mungkin sebagainya kepada seseorang yang sudah membuat kita sangat senang?



kedua, apakah kita pernah mencoba mengerti bagaimana sedihnya perosotan itu?



ini bukan soal kita bermain perosotan tau tidak, kembali lagi, ini adalah soal "betapa mudahnya hal yang dulu pernah membuat kita tertawa kita lupakan".



tanpa perosotan itu, aku juga tak mungkin menyadari kesalahan manusia ini, tulisan ini juga bukan dariku, ini semua mungkin apa yang sudah perosotan itu sampaikan padaku.



mungkin ia sudah terlalu lelah untuk tidak dihargai...



semoga ini menjadi pelajaran buat kita, ingatlah saat kita tersenyum karena sesuatu, dan semudah itu kita melupakan sesuatu itu, kuyakin pasti kita semua pernah..



aku hanya bisa berkata dalam hati pada anak-anak yang masih bermain itu, "ingatlah hari ini jika kalian dewasa nanti, anak-anak"







SELESAI