Malam itu, batang otak kembali berakar. Menyinggung titik-titik beban pikiran yang menjadi keluhan. Segelas kopi menunggu kembali digenggam, agar ditelan segala isinya, dan lebih cepat pula bebannya terangkat. Ah, andai hidup bisa begitu sederhana seperti halnya gelas tersebut. Sepahit apapun tiap tetes tertuang, pada akhirnya akan ada yang menghabiskan. Beda dengan beban pikiran yang walaupun masih kurang pahit, tiada orang lain berniat menengguknya.
Sisa dua jam sebelum kelas dimulai, namun Aku masih terdiam di sebuah kedai kopi yang ramai, mencari letak kesunyian dalam kicauan sosialita. Ya, itulah kebiasaanku; kesepian dalam keramaian. Semakin ramai keadaan akan semakin hilang hasrat untuk lepas dari kehidupan, hal tersebut akan membuatku terus terjaga, tiada niat untuk menutup mata. Sementara, tidak ada yang dapat kusapa, karena sesungguhnya Aku datang seorang diri.
Memang, terkadang siapa saja akan Aku sapa. Aku bukan termasuk orang yang apatis, meskipun sedikit pemendam, Aku bukan orang yang tertutup. Aku senang terbuka atas kabar gembira, walaupun sering juga tertutup akan kabar buruk. Menurutku, kabar buruk di hidup setiap orang sudah ditentukan untuk menjadi lebih banyak daripada yang baik. Apa gunanya menambah pahit orang lain?
Namun, seringkali Aku tidak menyapa karena kewajiban yang ada. Sekarang, kewajiban itu hadir dalam sebuah catatan-catatan yang harus dibaca untuk menghadapi dua jam ke depan, ujian pertengahan untuk mata kuliah tersulit di semester ini. Aku berpacu dengan waktu untuk mengerti arti setiap kata yang berbaris rapih pada layar laptop dan buku catatan.
Bukan berarti Aku menjadi terburu-buru karena terbiasa tidak belajar. Aku selalu belajar! Hanya saja, mungkin kurang cukup. Jangan salahkan Aku, salahkan saja satu hari yang hanya memiliki 24 jam.
Pagi-pagi di hari sebelumnya, aku menyelesaikan salah satu video, pekerjaanku yang tak akan pernah jenuh kugeluti hingga dimakan usia. Meskipun hal itu di luar konteks perkuliahan, bukankah itu disebut pembelajaran? Seusai menyempurnakan video tersebut, aku pergi menuju perkantoran di wilayah M. Selain menjadi mahasiswa, Aku mencoba untuk mulai bekerja sebagai pegawai lepas. Tentu saja pada awalnya Aku dilema dalam mengemban rutinitas ganda ini. Tetapi, untuk meringankan diri sendiri, yang pada akhirnya akan meringankan orangtua, kucoba saja untuk menjalaninya.
Di kantor tersebut, pikiranku kembali bercabang. Sebuah tugas perkuliahan mengingatkanku untuk segera dituntaskan. Akhirnya aku mencuri kesempatan mengerjakan tugas tersebut. Satu jam sebelum tengah malam, Aku berangkat pulang menuju kampus, tempat aku menitipkan kendaraanku agar lebih hemat pengeluaranku berpergian.
Sesampainya di kampus, kutemui beberapa teman tengah bermuka masam, ternyata mereka tengah dalam kesulitan atas tugasnya. Setelah kutelusuri tugas mereka, ternyata tugas tersebut kembali pada kemampuanku, membuat sebuah video. Akhirnya, karena menjadi terpelajar yang dapat mengajarkan adalah salah satu dari cita-citaku, Aku bantu mereka menyelesaikan tugas tersebut. Hingga akhirnya tiba waktu ini, jam 5 pagi.
Sungguh, banyak hal di depan yang masih mengganggu pikiranku. Membuat video untuk salah seorang teman lainnya, merencanakan pembuatan karya untuk perlombaan, menyelesaikan tugas lainnya, membantu teman lainnya lagi. Ah, 24 jam sungguh terasa kurang untuk memejamkan mata. Selain itu, masih ada kegiatan organisasi kampus yang juga menjadi kewajibanku, kewajiban yang menjadi prioritas saat ini. Aku tidak pernah menyalahkan kegiatan-kegiatan tersebut, mereka akan menolongku kelak sebagai seseorang yang lebih baik. Namun, dengan rutinitas, kebiasaan minum kopi dan tidak tidur, serta batang rokok yang silih berganti kuhisap seperti ini, rasanya seperti akan mati muda.
Hal itu terbesit karena melihat kondisi fisik yang terus dipaksakan serta segala kebiasaan-kebiasaan kurang sehat seperti sekarang. Banyak sekali kegiatan lainnya yang tidak kusebutkan, yang meskipun sederhana akan tetap memakan waktu dari 24 jam yang ada. Perlahan, pikiran dan tubuh mulai terasa lelah. Bidang yang kugeluti selalu mengenai ide, karya, dan solusi, hal-hal yang memaksa otak untuk terus mencari cela. Menurutku itu jauh lebih melelahkan, lebih membuka kemungkinan untuk mati muda!
Akal sehatku tetap mencoba menyadari apa esensi semua ini terjadi. Hingga Aku yakini kembali; setiap kehidupan menemui kesulitan. Mungkin, sekarang Aku merasa sangat sulit dalam belajar, bekerja, berorganisasi, dan sebagainya. Namun, kucoba renungkan bahwa di luar sana orang-orang menemu kesulitan, bukan dalam belajar tetapi untuk belajar, bukan dalam bekerja tetapi untuk bekerja, bukan dalam berorganisasi tetapi untuk berorganisasi, untuk dapat bekerja sama dengan orang lain. Sudah sepatutnya Aku bersyukur, ini adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan. Kesulitan hanyalah proses, dan Aku mendapatkan kesulitan dengan bentuk yang baik.
Sejenak, Aku menyesal atas segala pikiran bodoh dan keluhan yang telah tercetus.
Mati muda ternyata memiliki makna yang mengecoh, bukan berarti berusaha hingga titik darah penghabisan atau membanting tulang untuk mengancam diri sendiri. Mati muda tidak akan menjerat nafas agar terputus segala kesempatan yang akan hadir. Justru, mati muda adalah membuang segala kesempatan di masa muda untuk berjuang. Kehidupan di masa muda "mati", artinya masa itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya. Begitu sadar, habis peluang yang dulu pernah ada, terlambat sudah untuk merakit kembali istana di hari tua. Mati muda berarti menjadikan masa muda sia-sia.
Kembali kutenggak kopi pada gelas di atas meja hingga habis. Seketika, Aku sadar akan satu lagi hal penting mengenai beban di masa muda; jika pahit kopi di gelas sudah habis, gelas tersebut hanya akan berperan menjadi perkakas kotor yang tidak berguna.
Sesungguhnya, ada baiknya melihat segala tanggung jawab sebagai alasan mengapa kita menjadi berarti.